Layaknya orang-orang gunung yang berlarian menuju lembah-lembah hijau, sambil berteriak-teriak. Namun sekeras-kerasnya suaramu, ditelan saja oleh jurang yang sunyi. Dan angin dengan kesenangannya sendiri mengombang-ambing layang-layang hingga terpaksa terbang untuk sebuah keindahan. Sedangkan diseberang sana, bunga matahari memberikan alunan nafas semangat untuk mencapai suatu pengabdian dan perjuangan. Mengalun bagai gesekan dawai biola yang bergelora.
Dulu engkau teriakkan suara keras. Hari ini kau pun berteriak lebih keras. Apakah esok kau juga akan meneriakkan suaramu yang memecah itu? Apa sebenarnya maksudmu meneriakkan lengkingan suaramu itu? Jika saja kau teriakkan alunan nada indah dari pita suaramu, tentu saja tak akan sia-sia. Jurang yang sunyi akan mulai peka terhadapmu, yang senantiasa berteriak. Tak ada lagi layang-layang yang terpaksa terbang hanya untuk sebuah keindahan semu. Dan angin tak akan ramai sendiri dengan kesenangannya memporak-porandakan suasana lembah yang hijau. Kemudian bunga matahari akan senantiasa berbagi denganmu. Tentang pengabdian, perjuangan, keindahan serta kepekaan. Hingga pagi berganti pagi lagi, kalian akan selalu berbagi.
Teater. Tidak seperti dunia film, sinetron apalagi musik yang populer di kalangan masyarakat umum. Termasuk pihak-pihak perusahaan (swasta) yang bersedia memberi sponsor palaksanaan acara-acara film, sinetron dan musik. Dengan memberikan donasi sebagian dari keuntungan perusahaan kepada pihak-pihak penyelenggara, mereka juga dilumuri maksud-maksud komersial , tentunya lewat iklan-iklan yang diselipkan di dalamnya. Sebuah jurus pemasaran yang cukup jitu.
Sedangkan pertunjukkan teater masih belum bisa menjangkau itu. Animo masyarakat masih sempit terhadap dunia teater. Anggapan pertunjukkan teater hanya untuk kalangan ‘tertentu’ saja (hanya diperuntukkan kepada para seniman) merupakan kekeliruan yang masih berlangsung di kalangan masyarakat umum. Hingga setiap kali diadakan pementasan teater, hanya orang itu-itu saja yang memberikan apresiasi. Teater dirasa masih kurang menjual. Alasan inilah yang membuat pihak-pihak perusahaan (swasta) enggan memberikan donasinya (sebagai bantuan dana) untuk penyelenggaraan pementasan teater.
Punya ‘link’ itu sebuah keharusan
Kedekatan dengan pihak sponsor itu penting. “Kalo kita kenal dengan salah satu orang dalam pihak sponsor, pasti akan sangat membantu saat proses permohonan sponsor ataupun donasi,” ungkap Anang Hanani, ketua Persatuan Artis Film Indonesia serta pelaku seni teater. Hal lain yang perlu diperhatikan kita harus menghindari free ticket. “Minimal harus ditiketkan,” jelasnya. Selama ini dana memang masalah klasik yang selalu menghampiri saat kita berproses. Tidak adanya adanya dana sering memunculkan banyak alasan untuk meninggalkan teater. “Paling tidak, actor harus diberi uang bensin. Supaya bisa semangat dan rajin latihan,” guraunya.
Selain itu kita juga harus meningkatkan kualitas kita. “Jangan memandang kuantitas, tapi kualitas,” tambahnya. Jika kualitas kita dalam berkesenian sudah konsisten, sponsor ataupun donatur tidak akan berpikir dua kali untuk mendukung pementasan kita. Seiring dengannya, penonton pun akan mengalir santai menonton pementasan kita.
Harus mampu ‘merumat’ penonton
Tidak dapat dipungkiri, sebuah pementasan pasti memerlukan penonton. Dalam hal ini, penonton selain sebagai pelengkap suatu pertunjukkan, bisa juga sebagai tolak ukur terhadap keberhasilan kita terhadap karya yang kita usung. “Bagaimanapun juga setiap grup perlu memikirkan cara supaya punya penonton”, ungkap AGS Arya Dipayana, sutradara pementasan Republik Anthurium yang baru saja dipentaskan dalam Festival Seni Surabaya (FSS) 2008. AGS, begitu dia sering disapa, memaparkan beberapa cara, salah satunya kita harus membuat pertunjukkan/ pementasan yang ‘bagus’. Kata ‘bagus’ inilah yang masih menjadi misteri. Apakah kita harus kompromi dengan penonton? Mengikuti perkembangan selera penonton, seperti yang dilakukan film, sinetron atau bahkan musik.
Yang kedua, kita harus mampu ‘merumat’ penonton. “Biasanya kan selesai pementasan, kita tidak peduli lagi dengan penonton. Kalo udah, ya udah. Seharusnya kita bisa melihat daftar penonton di buku tamu. Kemudian, untuk pementasan selanjutnya, kita bisa mengundang mereka. Lama-lama pasti akan ada penonton yang loyal,” ungkapnya.
Teater hanya itu-itu saja
Meninjau pendapat penonton yang dalam kategori ini adalah masyarakat umum, mereka agaknya bosan dengan sajian-sajian teater selama ini. “Teater? Paling cuma itu-itu aja. Teriak-teriak, nangis and so on,” ungkap salah satu mahasiswa perguruan tinggi swasta di Surabaya. Kalau pendapat seperti ini sampai muncul ke permukaan, siapa yang salah? Para pelaku seni agaknya harus meningkatkan kreativitasnya supaya masa depan seni teater dapat terkontrol dengan baik. Tidak mungkin kita menyalahkan penonton ‘awam’ yang pada saat itu menyaksikan pementasan kita. Kita sebagai penyelenggara harus bisa menyampaikan pesan simbolik yang lebih kreatif, tentunya dapat memberikan efek yang positif terhadap penonton yang kita rumat. “Terkadang pertunjukkan teater terlalu memberikan stereotype buruk tehadap suatu hal, misalnya tentang kritik terhadap kerja pemerintah yang selama ini banyak yang nggak bener, maksudnya koropsi. Padahal tidak semua orang pemerintahan melakukan tindak korupsi kan? Narasi seperti ini akan menimbulkan pemikiran buruk penonton terhadap pemerintah,” papar Budi Irawan, mahasiswa komunikasi STIKOSA-AWS. Ini adalah pekerjaan rumah bagi para pelaku seni teater, khususnya di Surabaya. Termasuk saya dan Anda.
(Norma)